Review Ku Lari Ke Pantai (2018)

Kali ini Film Medan berkesempatan untuk menikmati sebuah film anak-anak karya Miles Production yang mengambil judul menarik, yang masih berhubungan dengan bait puisi dalam film AADC, "Ku Lari ke Pantai".

Sebenarnya film anak-anak bukanlah sesuatu yang baru bagi Miles Production. Setelah sebelumnya berhasil dengan Petualangan Sherina (2000), Laskar Pelangi (2008), dan Sokola Rimba (2013), kali ini Kulari ke Pantai pun tidak jauh kualitasnya dibanding film-film sebelumnya.

Ku Lari Ke Pantai kali ini masih tetap diarahkan oleh Riri Riza sebagai sutradara, dan Mira Lesmana di posisi produsernya. Miles kali ini menggandeng komedian Arie Kriting sebagai konsultan dalam penulisan cerita Ku Lari ke Pantai. Arie dilibatkan karena pengalamannya menjadi konsultan beberapa film komedi.

Selain Arie, sosok penulis yang juga seorang ibu yang mengetahui betul bagaimana dan seperti apa pemikiran anak-anak jaman sekarang, Ginatari S Noer didaulat sebagai penulis skenario film ini. Ginatari sudah memiliki banyak prestasi di perfilman dan pernah menjadi Penulis Terbaik di FFI pada tahun 2013 untuk film Habibie dan Ainun.

Awal Kisah Ku Lari Ke Pantai Bermula

Film ini bermula dari penggambaran keluarga kecil Irfan (Ibnu Jamil) dan Uci (Marsha Timothy) dan anak perempuannya yang bernama Samudera atau yang akrab dipanggil Sam (Maisha Kanna). Keluarga Uci yang tinggal di kota memandang Irfan sebagai penyebab Uci jauh dari mereka, karena memilih untuk tinggal di Pulau Rote. Paling tidak itu yang ditunjukkan oleh Arya (Lukman Sardi), abang Uci yang beristrikan Kirana (Karina Suwandhi),anak laki-lakinya Dion (M. Adhiyat), dan anak perempuannya yang berumur 12 tahun, Happy (Lil'li Latisha). 

Sam yang menyenangi surfing dan kehidupan di alam bebas bertolak belakang dengan Happy yang lebih milenial, tak bisa lepas dari smartphonenya dan genk "Glam Girls" yang diikutinya. Pengaruh rasa tidak suka Arya ditiru oleh Happy yang juga menganggap Sam kampungan.

Sikap Happy ini membuat Kirana menyarankan agar Happy ikut dengan perjalanan yang akan dijalani oleh Uci dan Sam ke Pantai G-Land (Pantai Grajagan) yang terletak di Banyuwangi untuk menemui pe-surfer idolanya Kailani Johnson. Walau sempat ditentang oleh Arya, tapi akhirnya keduanya menyetujui rencana ini. Happy yang pada awalnya menolak, tidak bisa berbuat banyak karena diiming-imingi tiket nonton konser yang ingin dimilikinya agar bisa nonton bareng teman-temannya di Glam Girls. Sebelum perjalanan di mulai, Happy mengingatkan Sam agar menjauh darinya sepanjang perjalanan nanti.

Petualangan 1000 kilometer Dimulai!

Perjalanan Uci, Sam dan Happy dengan mobil butut mereka pun dimulai, sepanjang perjalanan mereka bertemu banyak orang dan petualangan seru. Mulai dari Pak Gondrong (Praz Teguh) dan asistennya (Yudha Khan) yang memiliki kios Sate Gondrong, pemilik penginapan Mukhidi (Dodit Mulyanto) dan anaknya yang nakal Wahyu (Fadlan Rizal) hingga Edi (Edward Suhadi), seorang fotografer perjalanan dan istrinya Fifi (Francy) dengan mobil kucing birunya yang unik. Mama Mela (Ligwina Hananto) dan girlband-nya Ordinary Girls. Tak ketinggalan pula Dani (Suku Dani), bule asal Papua yang gemar bercerita dengan ukulele-nya.

Perjalanan mereka berlangsung dengan menarik. Perlahan hubungan Sam dan Happy mengalami pasang surut selama perjalanan. Komedi mengiringi cerita-cerita kecil yang terjadi di sepanjang perjalanan mereka. Perjalanan menemui pesurfer idola Sam menemui hambatan yang sangat besar. Apalagi dengan adanya masalah yang melibatkan Happy dan Sam.

Penceritaan Runtut dan Tempo yang Stabil

Mempertahankan ciri khasnya, Riri Riza masih mempertahankan pola penceritaan yang runtut. Apa yang terjadi merupakan hasil dari kejadian sebelumnya dan menjadi penentu atas kejadian berikutnya. Pola ini berlangsung dengan beat yang tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat. Rincian dalam kejadian-kejadian ini digambarkan apik, berusaha membawa penonton masuk ke dalam cerita dan mengumpulkan informasi mengenai konteks dan karakter secara perlahan. 

Tidak ada yang informasi yang mengejutkan disampaikan dalam runutan kisahnya. Beberapa hal dengan mudah ditebak, karena dipaparkan melalui shot-shot tertentu, aksi yang dilakukan karakter, atau melalui dialog yang disampaikan oleh tiap karakternya. Faktor "kebetulan yang sangat kebetulan" digunakan sepanjang cerita, menjadikan film ini terasa seperti "fiksi" romantis ala Ada Apa Dengan Cinta? 

Film jenis roadtrip juga bukan hal baru bagi Riri Riza, 3 Hari Untuk Selamanya (2007) yang pernah digarap Riri juga masih berpengaruh dengan caranya menceritakan kisah Ku Lari Ke Pantai ini. Tapi jujur, masih jauh dari Easy Rider (1969) besutan Dennis Hopper.

Keterlibatan karakter Dani di setiap peristiwa dalam film ini sepertinya terlalu gampang ditebak, menjadikan dunia sepanjang 1000 kilometer seolah kecil dan sedikit kurang logis jika dipikir-pikir. Tapi sepertinya hal ini masig sangat dibutuhkan untuk penceritaan film anak di Indonesia. Logika dunia nyata sepertinya tidak bisa dibiarkan terlalu mencolok dalam film ini karena akan menjadi resiko ruwetnya jalan cerita. Pemanfaatan tokoh-tokoh yang ada dari awal untuk menggiring jalannya cerita tetap terkendali sangat terlihat dalam film ini.

Cara Riri mencoba menyajikan "moral lesson" melalui apa yang terjadi pada Happy terasa lemah dalam kesatuan cerita. Riri tampaknya berusaha keras menggambarkan peristiwa "kemanusiaan" yang dilakukan Sam dan Happy dengan menghadirkan karakter sebuah keluarga baru sebagai bagian dari penyelesaian konflik utama film ini. Tapi bagian ini justru semakin menjadikannya sebagai tempelan yang terburu-buru untuk mengakhiri konflik cerita. 

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, hal ini menjadi mudah ditebak terhadap apa yang terjadi pada rencana Sam untuk menemui idolanya. Sebuah goal tertunda yang dapat ditebak melalui adegan dengan tulisan "sebulan kemudian" yang cukup mengganggu.

Sekali lagi, peceritaan runtut dan tempo stabil menjadi penyebab padatnya cerita di bagian tengah film, menjadikan bagian akhir film menjadi korban untuk diselesaikan dengan terburu-buru, tak semulus dan se-konstan bagian tengah film yang dipadati informasi untuk disampaikan kepada penonton, termasuk detail, "aku juga rindu Grandpa.." yang sampai pada akhir film tak punya makna apa-apa bagi Sam dan Happy.

Riri juga masih bertahan dengan eksplorasi keindahan alam sebagai penguat cerita. Tidak seperti Laskar Pelangi, Ku Lari ke Pantai ini masih terasa tanggung dalam memperlihatkan keindahan alam yang ada, sehingga menjadikannya terpisah dari hubungannya dengan karakter dalam film ini. 

Penggambaran tentang keindahan Pulau Rote di bagian klimaks film ini kurang mendapatkan porsi yang pas untuk menyatu dengan karakter Sam, Uci dan Irfan. Kestabilan tempo yang dipertahankan Riri, menjadi terburu-buru di bagian akhir, karena sulit menemukan klimaks yang pas dengan alur yang dibangun di sepanjang film. Sekali lagi, hal ini bisa dimaklumi karena film anak-anak Indonesia masih membutuhkan pola sederhana ini untuk dapat dipahami oleh penontonnya.

Media placement juga menjadi permasalahan serius dalam film ini. Beberapa kali, kesempatan dicuri Riri dalam mempertunjukkan produk dalam logika ceritanya. Ketidakberdayaan Riri dalam memasukkan logika produk minuman mineral dalam cerita terlihat jelas dari pemaksaan penggunaan produk tersebut untuk mengatasi masalah Sugar Rush yang dialami Sam. Bahkan parahnya lagi, justru keraguan dan ketakutan akan terjadinya polemik atas fakta Sugar Rush malah ditunjukkan Riri melalui dialog yang diucapkan Happy kepada Sam, "Berdasarkan penelitian, tidak ada yang namanya Sugar Rush..."

Hal ini juga jadi klise saat pada akhirnya, kita tersadar bahwa pantai hanya iming-iming belaka sebagai destinasi dalam film ini, tak lebih! Tak ada kehidupan pantai atau pendalaman ciri khas kehidupan pantai yang digali lebih dalam melalui film ini. Tidak juga melalui Sam yang susah payah digambarkan sebagai anak pantai Pulau Rote yang hanya menarik kekaguman dengan kalimat, "Kak Baruna seperti aku, tidak punya waktu untuk sibuk dengan hape.." Hanya itu saja, tak lebih!

Sebuah pemanis muncul di bagian awal film, sebagai sebuah clue untuk "Cinematic Universe" Miles yang akan hadir di akhir tahun ini. Temukan dan tersenyumlah dengan sepotong kelucuan yang dibawakan cameo istimewa dalam film ini: Mamet dan Milly

Pengaruh Karakter Ku Lari Ke Pantai

Sebagai pendatang baru, Maisha Kanna bermain sangat apik. Menjadi seorang gadis cilik yang besar di Pulau Rote, karakter Samudera diperankannya lumayan mulus, terlepas dari bunyi tawa yang masih terdengar palsu di beberapa bagian cerita. 

Lil'li Latisha sedikit lebih berhasil dengan menggambarkan anak perempuan kota yang berusaha menikmati perjalanan jauh dari kebiasaannya. Peran yang pas dibawakan, namun masih kurang meyakinkan dalam perubahan karakter di akhir cerita.

Suku Dani merebut perhatian dengan ciri khasnya bercerita dengan ukulelenya. Dani berhasil pula membuat jalannya cerita menjadi tidak monoton, tetapi sayang meninggalkan rasa mengganjal dengan surfing board yang dibawanya di sepanjang cerita, yang tidak punya hubungan sama sekali dengan karakter Dani dalam film ini.

Dodit Mulyanto kali ini berhasil keluar dari ciri sebelumnya yang dimilikinya, meninggalkan jauh kesan mas Kuncoro yang dimilikinya di Cek Toko Sebelah. Walaupun demikian, secara jelas beberapa kali ekspresi Dodit terlihat sedikit memaksakan diri dalam mempertahankan karakternya tersebut dalam adegan-adegannya. Justru kontemplasi nya tidak maksimal dalam karakter Mukidi, terlihat seperti kurang nyaman dari air mukanya saat menyampaikan dialognya yang nyeleneh, khas premis seorang standup comedian.

Yang juga tak kalah apiknya adalah Lukman Sardi yang tetap mempertahankan kekuatan karakter yang dimainkannya, namun gagal dieksplorasi Riri untuk menggugah perasaan penonton saat klimaks adu aktingnya dengan Marsha Timothy di bagian akhir film.

Film ini lumayan menarik dan bermuatan hal positif untuk disampaikan kepada penonton, khususnya anak-anak Indonesia. Paling tidak, penonton tidak akan dibiarkan menemui kejenuhan saat mengikuti cerita demi cerita yang terjadi di sepanjang film. Film anak-anak yang bagus di tengah lesunya film anak-anak berkualitas di negeri ini.

Itu tadi review Ku Lari ke Pantai dari Film Medan. Bagaimana menurut kamu? Berikan komentarmu di kolom komentar yaa...

Ku Lari Ke Pantai (2018) | Miles Production | 112 menit | Semua Umur
Director: Riri Riza
Penulis Skenario: Arie Kriting, Mira Lesmana, Gina S. Noer, Riri Riza
Cast: Maisha Kanna, Lil'li Latisha, Marsha Timothy, Lukman Sardi, M. Adhiyat, Dodit Mulyanto, Ibnu Jamil, Karina Suwandhi, Varun Tandjung, Suku Dani, Edward Suhadi, Francy, Ligwina Hananto, Praz Teguh, Yudha Khan, Mo Siddik, Fadlan Ridzal
Cinematography by: Gunnar Nimpuno
Film editing by: Aline Jusria
Music by: Aksan Sjuman



1 Comments

  1. Dalam film anak-anak memang seharusnya di bangun dengan se-sederhana mungkin. Agar mudah untuk di pahami.

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post