Review Hereditary (2018)


Film horor tidak akan pernah mati, bahkan selalu hadir mengisi layar sinema dunia. Para sineas pun tidak ada bosannya memproduksi film horor. Kali ini  layar Indonesia di suguhkan film horor karya Ari Aster, Hereditary (Turun Temurun). Sebelumnya Aster pernah menggarap film pendek bertema incest, “The Strange About the Johnsons" (2011) dan “Munchausen” (2013) sebuah film pendek lainnya yang mengangat tema ketidaknyamanan dari hubungan ibu dan anak lelakinya. Aster sendiri sering memilih untuk menjadi penulis sekaligus sutradara dalam setiap filmnya.


Apa yang ditawarkan oleh Hereditary?

Bencana melanda keluarga yang terkepung, dalam film horor yang menciptakan ketakutan yang luar biasa.  Aster, lewat film ini, membuktikan bahwa Ari Aster juga punya caranya sendiri dalam membuat film horor.

Annie Graham (Toni Collette) adalah seorang seniman miniatur yang tinggal dengan suaminya, Steve (Gabriel Byrne), anak lelaki remajanya, Peter (Alex Wolff) dan anak perempuannya yang berumur 13 tahun, Charlie (Milly Shapiro). Saat pemakaman ibunya, Annie menjelaskan kalau hubungan dengan ibunya kurang baik. Annie melindungi Peter supaya nasibnya tidak sama seperti dengan ayah dan saudara prianya yang meninggal dengan mengenaskan. Ibu Annie hanya dekat dengan Charlie. Suatu ketika terjadi kecelakaan saat Peter mengajak Charlie untuk datang ke pesta atas suruhan ibunya, sehingga Charlie meninggal dunia, sejak saat itu teror makin menghantui keluarga Annie yang sudah dihantui sejak ibunya meninggal.

Plot film ini mengawali alur kisahnya dengan amat lambat dan banyak terfokus pada sosok Annie. Sejak awal, sudah terlihat jika ada sesuatu yang aneh dengan sosok sang ibu, juga putrinya. Dengan dukungan nuansa misteri yang kental, penonton digiring secara perlahan dan sabar untuk masuk lebih dalam ke kisahnya. Tak mudah untuk mengikuti plotnya, hampir setiap saat, kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Bukan justru bertambah bingung, namun justru membuat rasa penasaran kita terusik. Banyak hal mungkin penonton bakal lewatkan, namun inti kisahnya pasti tak sulit untuk kita pahami. Ending yang demikian gamblang menjawab semuanya. Judul filmnya sebenarnya sudah memberikan petunjuk ke mana arah cerita filmnya.


Absurditas Aster dan Ketidaknyamanan yang Diciptakannya

Aster menyenangi ketidaknyamanan. Memainkan tempo film untuk menciptakannya adalah cara Aster untuk mengajak penonton ikut merasakan ketidaknyamanan ini. Aster juga menyenangi ketidaknyamanan itu dipertontonkan lebih lama dan lebih mendalam. Seakan tidak cukup dengan memberikan adegan yang menganggu kenyamanan penontonnya, Aster sering menambahkan penambahan detail yang lebih absurd, hanya untuk membebani penontonnya dengan ketidaknyamanan. 

Ketakutan diciptakan Aster melalui shot yang tidak menampilkan informasi secara utuh kepada penonton. Untuk menambah kesan mistik dalam film ini, permainan cahaya dan suara lebih dieksplorasi Aster dalam beberapa adegan dengan beat lambat, memaksa penonton untuk menciptakan ketakutannya sendiri melalui ketidaktahuan dan permainan perasaan mereka selama mengikuti detail cerita dan shot yang berjalan lambat. 

Aster memberikan tekanan kepada penonton melalui emosi para karakter yang ada di filmnya. Kali ini ketidaknyamanan Annie akibat ditinggal mati ibunya digunakan Aster untuk menggiring penonton untuk tidak merasakan nyaman sejak awal film. Informasi kematian mengenaskan ayah dan saudara lelakinya ditambahkan melalui isi dialog, meringkas jumlah shot yang harus digunakan untuk menyampaikan ini kepada penonton. Penonton juga diarahkan mengenai ketidakberesan ibu Annie yang dikatakan memiliki penyakit kepribadian ganda dan senang memiliki ritualnya sendiri yang bersifat privat.

Tidak cukup hanya dengan menampilkan keputusasaan Annie mencoba keluar dari depresi akibat ketidaknyamanan ini, kecelakaan Charlie ditambahkan plus ketidaknyamanan Peter yang merasa bersalah atas kematian Charlie, dan ketidaknyamanan Steve yang menghadapi depresi Annie menjadikan penonton semakin tertekan dengan rasa ketidaknyamanan.

Tidak seperti film horor lainnya yag mendominasi dengan penampilan darah dan sosok menakutkan, Heredity menawarkan adegan dengan detail yang mengganggu kenyamanan menggunakan hal-hal yang lebih nyata. Seakan tak ingin menakut-nakuti dengan adegan murahan (kecuali adegan tubuh melayang ala Suzanna di film horor klasik Indonesia), Aster mencoba mencipatakan ketakutan dengan memainkan psikologi penonton agar merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi di setiap adegan.

Ketertarikan Aster terhadap api yang menyala di perapian seperti pada film The Strange Things about The Johnson, kembali dieksplor Aster di dalam film ini, menciptakan sesuatu yang lebih dramatis terhadap karakter Annie dan Steve di penghujung film. Aster berhasil mengantarkan penonton yang dibuatnya tidak nyaman dari awal film, merasakan tekanan yang semakin berat, bahkan menjawab satu per satu pertanyaan yang muncul di film ini dengan perlahan di bagian akhir film.


Seorang Ibu, dua orang anak, dan seorang teman yang tidak terlalu misterius


Toni Collette yang pernah menjadi nominasi untuk Academy Award melalui film horror sebelumnya, The Sixth Sense (1999) berhasil membawa kesan depresi seperti yang diinginkan Aster. Memerankan Annie, seorang ibu yang tidak nyaman dengan hidupnya, berprofesi cukup aneh sebagai artist miniatur, dan ,meyakinkan penonton bahwa ia adalah korban utama di film ini, cukup pas dibawakannya. Kesan depresi melalui perawakan tubuhnya yang kurus, plus cekungan di hampir semua bagian wajahnya meyakinkan penonton untuk menyampaikan ketidaknyamanan yang diinginkan Aster.

Ini adalah debut film pertama seorang Milly Shapiro setelah sebelumnya merupakan pemeran Matilda di Drama Musikal Matilda dan merupakan pasangan kembar Abigail, -keduanya dikenal sebagai The Shapiro's Sisters. Sebagai Charlie, sosok yang aneh dan memiliki penyakit yang menjadikannya dianggap istimewa oleh neneknya, Milly juga dengan apik membawakan karakter Charlie, sebagai penghubung kisah Annie, ibunya dan neneknya yang misterius. Keanehan Charlie melalui hobinya membuat benda-benda seni yang aneh, serta penyakit dan alergi yang dideritanya berhasil memberikan penonton kesan tidak nyaman dari awal film.

Setelah perannya sebagai Spencer Gilpin di Jumanji: Welcome to the Jungle (2017), Alex Wolff kali ini membawa karakter yang tak kalah depresinya dalam film ini. Karakter remaja laki-laki pecandu bong yang juga tidak nyaman dengan keluarganya sendiri, plus hubungannya dengan ibunya yang dianggapnya memiliki masalah serius dengan pribadi labilnya berhasil membuat penonton terusik dari awal film.

Tidak banyak karakter yang dibutuhkan Aster untuk membangun cerita dalam film ini. Bahkan kehadiran Joan (Ann Dowd) sebagai perantara misteri yang satu dengan yang lainnya dianggap sudah cukup untuk menjalankan cerita di film ini sesuai yang diharapkan. Hanya saja clue mengenai siapa sebenarnya Joan ini terlalu terburu-buru ditampilkan Aster, sehingga tidak sulit bagi kita menghubungkan clue yang satu dengan yang lainnya, menjadikan kehadirannya dalam film ini menjadi teman yang tidak terlalu misterius.

Entah mengapa sepertinya ada pengaruh kental film "Pengabdi Setan" (2017) garapan Joko Anwar terhadap cerita yang ditulis Aster ini. Tetapi apapun namanya, film ini semakin mempertegas bahwa film horror Hollywood tidak bisa memberikan nuansa seram yang lebih selain menjadikannya lebih pantas menjadi film misteri belaka. Hereditary ditutup dengan perasaan yang sama: Bahwa misteri telah terpecahkan! Paling tidak menambah penasaran untuk film Aster berikutnya bersama A24, "Midsommar"

Hereditary (2018) | A24 Films | 127 Menit | Dewasa
Director: Ari Aster
Penulis Skenario: Ari Aster
Cast : Toni Collette, Gabriel Byrne, Alex Wolff, Milly Shapiro, Christy Summerhays, Morgan Lund, Mallory Bechtel, Jake Brown, Harrison Nell, BriAnn Rachele, Heidi Méndez, Moises L. Tovar, Jarrod Phillips, Ann Dowd,  Brock McKinney
Genre(s): Drama, Mystery, Thriller, Horror
Film editing by: Lucian Johnston dan Jennifer Lame
Music by: Collin Stetson





1 Comments

  1. Sebelumnya saya Sudah pernah menonton film ini,tapi saya cukup bingung dengan is/tujuan film ini Karena Banyak plot yg tidak sesuai dengan ekspektasi saya.Tapi setelah membaca artikel ini,saya jadi lebih mudah memahami film ini ditambah lagi penyampaian Bahasanya yg tidak membosankan..mantap sir!

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post