Medan, Film Medan - Jujur, kemunculan trailer dan bayangan sebelumnya tentang horror yang kabarnya lebih seram dari pada Pengabdi Setan (2017) lah yang membuat persiapan nonton Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) ini terasa lebih menegangkan. Stereotype jumpscare yang selalu ada pada semua film horror akan membuat perasaan tidak tenang pada jenis shot-shot lambat yang terfokus pada sebuah titik di layar. Celakanya, jenis shot ini tersebar banyak di semua scene, jadi, pantas kutipan oleh Dimas Djay selepas menonton film ini adalah:
“Bikin migrain, taik!”.
Joko Anwar sudah
menulis ide cerita ini sejak 2009 saat ia sering mengalami mimpi berada di
sebuah desa dan melihat seorang perempuan tua di depan sebuah rumah. Tidak mudah
membujuk production house untuk sebuah film thriller katanya. Sebenarnya proyek film ini telah bermula sejak 2011 saat Joko menggugah poster film ini. Kabarnya proyek ini batal karena banyaknya produksi film oleh Lifelike Pictures yang awalnya memproduksi film ini.
Baru lah kemudian rumah produksi Base Entertainment yang didirikan Shanty Harmayn bisa
mempresentasikan skenario PTJ kepada Ivanhoe Pictures, perusahaan film di Los
Angeles, Amerika Serikat, yang memproduksi film Crazy Rich Asians (2018) dan
the Wailing (2016). Bersama dengan Ghost in the Cell dan The Vow, film ini mendapat suntikan dana dari Ivanhoe Pictures. Tak hanya Ivanhoe Pictures, ternyata CJ Entertainment dari
Korea Selatan, rapi Films, dan Logika Fantasi pimpinan Tia Hasibuan akhirnya
ikut memproduksi film PTJ ini dengan konsep horror yang lebih pada thrillernya. Kurang ajarnya, aku baru tahu tentang jenis film ini setelah nonton, bukan sebelumnya!
Judul awal film ini adalah Impetigore yang kemudian beralih menjadi Perempuan Tanah Jahanam diumumkan Joko Anwar di akun instagramnya pada 31 Desember 2018.
Jadilah review ini ditulis dengan pengalaman sepanjang film yang lumayan membuat stress, di antara menikmati film apa adanya, dan juga belajar dari semua elemen yang ada di dalamnya! (Btw, untuk film ini, kami tim filmmedan nonton lengkap dari sutradara, penulis script, penata artistik, penata suara, cinematografer. Masing-masing pastinya punya tinjauan sendiri-sendiri)
Bagaimana Perempuan Tanah Jahanam Diceritakan
Sederhana
sebenarnya ceritanya kalau dipikir-pikir, seorang perempuan Maya (Tara Basro) yang menemui kejadian aneh saat
bekerja di tempat sebelumnya, hingga akhirnya memaksanya bekerja sebagai
pedagang baju bersama sahabatnya Dini (Marissa Anita). Maya menemukan sebuah
foto yang menunjukkan bahwa keluarganya di desa mungkin memiliki sebuah rumah
besar yang bisa dijadikan modal usaha. Dan Dini memaksa ikut meski sudah
dilarang. Di sana mereka menemukan rumahnya, dan bonus semua hal jahanam lain
yang menyertainya hingga akhir film.
Dari runtutan
cerita aku bisa membayangkan betapa Joko Anwar berusaha penuh untuk menyusun
naskah ini secara matang. Alurnya rapi. Beberapa hal ditambahkan agar tidak ada
kesan bahwa hal itu terpaksa muncul. Bahkan di saat aku merasa bahwa ini adalah
sebuah kebetulan yang sangat kebetulan pun, ternyata malah nggak ada urusannya
dengan linimasa filmnya. Asu! Padahal sudah lumayan memakan memori otak saat
menyimpannya di tengah-tengah penyajian adegan yang bikin stress.
Barulah setelah
kemunculan Ki Saptadi (Ario Bayu) dan Nyi Misni (Christine Hakim), barulah aku
merasa memang ini tidak akan sama dengan pengabdi setan. Jadi, ketakutan
terhadap setan lumayan terhenti sejenak, berganti rasa penasaran dengan adegan
sadis yang tersaji. Celakanya, hantu kurang ajar itu malah muncul lagi di
bagian jelang akhir! Bangsaaat!
Oke lah, sebuah jalan cerita lainnya akan mendampingi penceritaan PTJ ini. Sebuah cerita yang menjadi kunci mengapa Harjosari menjadi tanah jahanam. Sebuah kisah yang melibatkan Ki Donowongso (Zidni Hakim), Ki Saptadi, Nyai Shinta (Faradina Mufti), dan Nyi Misni. Tentunya tidak akan aku ceritakan di sini kan?
Tentu tidak juga harus dipisahkan cerita tentang Ratih dan suaminya Bimo (terpaksa aku tak menyebutkan pemerannya karena pastinya akan menjadi spoiler perusak cerita). Ratih yang punya sifat lain dengan penduduk desa Harjosari lainnya ini akan memiliki cerita sendiri yang melengkapi pecahan misteri yang harus dihadapi Maya alias Rahayu.
Lain pula kisah sang polisi Suryo asal Harjosari (Muhammad Abe) yang awalnya diceritakan akan menyelamatkan Maya dan Dini dengan didampingi oleh Adul sang pengemudi dokar (Abdurrahman Arif) dan kisah tentang istrinya yang tengah mengandung yang menjadi pelengkap kengerian desa Harjosari yang menurut karakter Ratih yang meneruskan pesan mbahnya,
"Kalau orang bikin perjanjian sama setan dan lahir kutukan, kutukan itu nggak bisa hilang, hanya akan berubah jadi kutukan lain."
Selama 106
menit, aku dibawa membuka satu per satu misteri rumit dan menghilangkan rasa
penasaran. Sempat tadinya sedikit saja kehilangan konsentrasi dan tidak memperhatikan adegan demi adegan serta
dialog demi dialog, tentu akan sangat mengganggu pemahamanku terhadap logika cerita yang mau
disampaikan. Sekali lagi jahanamnya, kunci misteri itu satu per satu
disampaikan melalui adegan-adegan sadis dan horror! Ah iya, supaya kalian lebih
stress lagi nungguinnya, aku harus sampaikan bahwa ada satu adengan jumpscare
laknat di film ini. Tungguin aja!
Mereka yang Menghidupkan Peran di Perempuan Tanah Jahanam
Sudah, kalau
bicara pemeran, yang udah biasa dengan karya Joko Anwar pasti sudah tidak akan
mempertanyakan Tara Basro dan semua detail yang melekat padanya dalam setiap
karakter yang dibawakannya di film-film sebelumnya. Karakter Maya alias Rahayu
sangat realistis menggambarkan seorang perempuan yang sampai gadisnya tidak
ingat apa-apa mengenai keluarganya. Dekilnya masuk. Cantiknya? Ah.. adegan
pipis di toilet di film ini lumayan membekas di kepala, walau merasa sayang
pahanya yang mulus itu harus sobek oleh karena benda laknat yang akhirnya larut
dalam air bercampur darah dalam kloset!
Marissa Anita
yang memerankan Dini, adalah pelengkap yang manis untuk jalan cerita ini. Kalau
tadi kita hanya disuguhkan paha mulus dari pemeran Maya, untuk Dini malah kita
akan melihat lebih, dan lebih juga akan diingat, tapi jangan harap nafsu saat
melihat detailnya, karena... ah nonton lah kau! Biar jelas! Tapi untuk karakter
Dini sang sahabat yang mulai dekat sejak menjadi petugas gerbang Tol, sama-sama
sudah menjadi penjual baju di pasar, dan menyertai perjalanan Maya ke desa
Harjosari yang mengerikan. Dini ceriwis dan perhatian tetapi jujur kehadirannya
memang hanya untuk merelasikan karakter utama film ini dengan misteri yang ada
di desa Harjosari. Nggak perlu aku bocorkan juga karena di trailer, sosok Dini
digantung terbalik dengan pisau diasah di depannya kan?
Ratih, sang
perempuan yang asli Harjosari secara baik diperankan oleh Asmara Abigail. Sang pemeran
Asih di film Setan Jawa (2016) ini juga sebenarnya muncul di film Pengabdi Setan
sebagai Darminah. Ah, tak perlu mengingat nama terakhir itu, karena namanya tak
perlu! Sungguh tidak perlu! Jebolan Master dari Milan, Italia ini memang punya
wajah yang dibilang cantik, tapi kok seram.. ya begitulah! Dalam film ini
menggambarkan sosok perempuan Jawa yang penuh dengan quotes-quotes bijak yang bisa
dipakai untuk posting nasehat-nasehat di medsos. Sungguh! Selain tentu saja
kalimat, “kerasa nggak?” yang bikin trailer film ini sukses membuat penasaran!
Aktingnya diperankan baik, tapi cukup mengganggu karena hanya dia ini yang
cantiknya beda dengan gadis-gadis kampung Harjosari yang lainnya.
Ki Saptadi
yang diperankan Ario Bayu cukup disajikan dengan apik. Bukan hanya sebagai
sosok dalang kalem di desa Harjosari, tapi jujur sejak kemunculannya di lokasi
tempat perempuan digantung terbalik, aku sempat berharap dia sebagai tokoh
protagonis di bagian akhir film ini. Dan tak terlalu meleset kok keinginanku
ini, tapi membayangkan hubungannya dengan Nyi Shinta serta kaitannya dengan Nyi
Misni, ibunya menjadikan film ini terasa padat. Penuh!
Faradina
Mufti adalah pemeran Nyai Shinta. Kunci dari misteri yang ada di desa Harjosari.
Dalam film ini adalah istri dari Ki Donowongso sang dalang anak penguasa tanah
Harjosari. Tidak terlalu banyak kemunculannya dalam film ini, tetapi adegan
syurnya dengan Ki Saptadi adalah suatu bonus remahan yang takkan terlupakan,
plus cara kematiannya yang tidak secara gamblang ditampilakan di dalam film,
tetapi jujur, setelah kemunculannya lah aku baru bisa menebak jalan cerita PTJ
ini secara keseluruhan.
Dan Nyi
Misni! Yak! Tidak hanya di awal film. Peran ini sukses dibawakan oleh Christine
Hakim, sosok aktris senior Indonesia yang tidak lagi perlu dipertanyakan
legendanya di perfilman Indonesia. Sungguh sebuah aksi di film horror pertamanya yang sangat luar biasa. Benar-benar akan lama diingat oleh penontonnya. Secara apik memang, kemampuannya menggunakan
pisau, seperti perannya dalam film Tjoet Nya’ Dien (1988) plus wajah kaku dan
kaki agak pincang di sepanjang film menjadikan karakter Nyi Misni ini hidup dan
kunci dari semua misteri yang terjadi di Harjosari. Agak disayangkan memang
klimaks filmnya sedikit terlalu “sinetron”. Tapi di bagian akhir film, Nyi
Misni ini lagi-lagi bikin jantung berdegub kencang! Walau tak sekencang di
bagian tengah film.
Set Lokasi Perempuan Tanah Jahanam
Sepanjang
film kita disuguhkan lokasi yang cantik, sunyi dan mencekam. Frans Paat, sang production designer benar-benar harusnya mendapat standing applause selepas film ini berakhir. Sungguh! Kalau di film Marlina sang Pembunuh dalam Empat Babak (2017) kita berhasil disuguhkan set cantik hasil ramuan bang Frans sebagai art directornya, di film PTJ ini, kita akan benar-benar mengagumi lokasi dan set yang disusunnya bersama tim. Dari awal memang kita selalu dibuat merinding dengan lokasi-lokasi yang dipilih.
Dari pengakuan Joko Anwar, hari pertama syuting PTJ adalah syuting di pasar. Karena alasan dolly tracknya kurang panjang, maka mereka bin tempat kamera dari gerobak. Dan karena mereka tidak punya mesin asap. Maka kru menggunakan vape untuk bikin asap jalanan. Kreatif dan gila untuk film sekelas bioskop!
Khusus untuk hutan,
kabarnya empat jenis hutan, yaitu yang terluar hutan pinus, kemudian hutan
homogen kayu-kayu besar, hutan bambu dan hutan heterogen di dekat desa. Bocoran
dari Joko Anwar juga bahwa akhirnya syuting dilakukan di beberapa tempat yang
berbeda di sepanjang Jawa Timur (Malang, Gempol, Lumbang, Bromo, Lumajang, dan Ijen). Khusus untuk rumah besar dalam cerita
Perempuan Tanah Jahanam, ditemukan di Banyuwangi, sebuah rumah yang memang
tidak dihuni selama hampir 30 tahun.
Sungguh adegan-adegan di dalam rumah ini
di sepanjang film benar-benar membawa kita masuk ke dalamnya. Walau.. seperti
kata bang Ronny Paulus Tjandra sang pemeran Badut di film Badoet (2015),
“Gue suka heran sama film horror Indonesia. Pergi ke daerah asing, ada rumah/ tempat angker, terus santai aja tidur/ nginap di situ. Cari penyakit! Nggak bisa nginap di rumah penduduk aja?”
Tapi jawaban pernyataan abang ini lah yang coba
terus dijawab Joko Anwar di film ini, dengan logika-logika yang dihasilkan
dengan kerja keras. Aku rasa sih bang.. lumayan berhasil sedikit lah.. kalau
nggak, ya nggak bakalan jadi cerita di filmnya ini. Beberapa detail seperti mengapa mereka memilih untuk tinggal di rumah tua daripada pulang kembali malah ada di dialog karakter Maya dan Dini, plus mengapa tidak tinggal di rumah warga juga sudah coba dijawab dengan sambutan warga kepada mereka di beberapa adegan.
Kepaiawaian Mereka Melukis Perempuan Tanah Jahanam dengan Kamera
Oke, sejak
menggarap Radit dan Jani (2008), bang Ical J. Tanjung memang sudah menunjukkan
kelasnya sebagai seorang cinematographer dan director of photography yang layak
diperhitungkan di Indonesia ini. Nggak akan pernah terlupakan bagaimana bang
Ical harus mengambil gambar obat-obatan terlarang dan tindak kriminal di sepanjang
film ini. Tapi adegan di atas tempat tidur dan duduk di pinggir jalan plus
adegan sakau dan mengerang kesakitan dalam film ini sangat dramatis di tangan
beliau.
Lalu, kurang
apa lagi? Beberapa tahun terakhir, kita sudah disuguhkan film-film Pengabdi
Setan (2017). Ave Maryam (2018), Foxtrot Six (2019), dan Gundala (2019). Semuanya
dengan konsep gambar yang luar biasa! Plus, tata cahaya PTJ ini dari penuturan Joko
Anwar dilakukan dengan sangat hati-hati dan mendetail untuk mendapatkan
pencahayaan yang natural. Tak jarang tim tata kamera dan cahaya yang dikomandoi
Ical Tanjung mendesain lampu khusus.
Bukan sebuah
kebetulan tiga bulan terakhir ini kami di Manuprojectpro juga sedang getol-getolnya
memperbaiki tata cahaya kami di setiap produksi kami, ini karena kami sangat menyadari bahwa beda antara memberi perhatian pada tata cahaya film dengan tidak sangatlah besar. Kami harus memberikan perhatian serius untuk masalah tata cahaya ini!
Sepanjang film aku berusaha menghubungkan semua teori tentang narrative beat dan acting beat yang setengah mati coba kupahami sebelumnya dari hasil workshop penyutradaraan Pusbang dahulu itu dengan gambar-gambar yang disajikan tim PTJ. Aku mengagumi keindahan penempatan sudut kamera, pergerakan kamera, dan ukuran frame kamera yang mereka gunakan. Semua gambar punya motivasinya masing-masing. Mencoba memahami hal ini lah yang kemudian menjadikan pengalaman nontonnya jadi terasa lebih berat.
Tapi bukan tanpa pengecualian. Aku juga masih memiliki sedikit catatan kurang sreng dengan pemilihan cara pengambilan gambar di beberapa adegannya. Seperti adegan Ki Donowongso dan Ki Saptadi dengan tiga anak kecil (Aura Agna, Sindris Ogiska G, dan Devona Quenny) dan semua pendukung penampilan wayang kulitnya. Sedikit terasa "ramah" di sebuah film yang dari awal sudah memaparkan kekejaman dan kesadisan. Aku sempat berpikir memangnya kalau kesadisan yang dilakukan oleh dalang itu harus ditampilkan di balik layar putih dan hanya bermain dengan bayangan? Haruskah?
Aku juga mengagumi adegan lari di hutan, serta penyusuran detail jalan di desa Harjosari, plus pergerakan kamera di kuburan. Tiga teknik pengambilan gambar itu membuat hati serasa akrab dengan lokasi ceritanya. Terasa bahwa aku benar dibawa masuk ke dalam cerita. Seramnya adegan itu sangat terasa!
Apresiasi lebih lanjut lagi tatkala adegan malam baik di dalam rumah tua maupun di sepanjang desa Harjosari yang diberi nuansa merah oleh bang Ical dan team benar-benar dramatis. Ini bisa kubayangkan betapa rumitnya ekslorasi settingan lensa dan kamera saat menangkan adegan-adegan ini. Mereka berhasil menyampaikan cerita dengan gambar yang menakjubkan ini!
Ah iya, jangan lupa, bang Ical ini juga muncul sebagai salah satu polisi di film Perempuan Tanah Jahanam! Yang ini bukan spoiler ya. Tapi layak dicermati penampilannya di film!
Bunyi-bunyian Tanah Jahanam
Di bagian Sound Department, nama-nama seperti Mohammad Ikhsan (sound), dan Anhar Moha (sound recordist) menghiasi jajaran pembuat suara di PTJ.
Mohamad Ikhsan menurut Joko Anwar:
"Orang yang memadukan suara yang direkam di lapangan dengan suara yang dibuat di studio untuk memperkaya rasa, menajamkan penceritaan. Tekun dan passionate"
Mohamad Ikhsan Sungkar ini adalah sound designer film My Stupid Boss (2016), Dilan 1991 (2019), Sin (2019) dan Susi Susanti: Love all (2019). Bang Ikhsan ini adalah rekan setia mendiang Khikmawan Santosa. Kolaborasi pengerjaan sound film sering ia lakukan bersama bang Kiki, panggilan bang Khikmawan Santosa.
Plus Anhar Moha sang sound recordist, yang menurut Joko Anwar:
"Perekam suara di lokasi yg mampu merekam dialog pemain & ambience dengan jernih di medan yang sulit sekalipun. Saya selalu menghindari ADR (Automated Dialog Replacement atau dubbing) tiap bikin film makanya skill Anhar sangat bermanfaat."
Anhar Moha adalah sosok sound recordist rekan bang Kiki juga di film Pengabdi Setan yang membawanya mendapatkan Piala Citra.
Mengenai tata suara ini, jelas sangat mendukung terciptanya dramatisasi adegan demi adegan di dalam film ini. Dari awal film, suara-suara dalang wayang kulit sudah menghantarkan kita dengan manis disertai suasana yang tidak biasa. Plus, di sepanjang film suara-suara ini lah yang membuat kesunyian desa Harjosari, keseraman rumah tua, dan adegan-adegan mencekam itu mengganggu ketenangan jiwa penontonnya.
Di bagian music scoring, kehadiran Aghi Narottama, Bemby Gusti, Tony Merle, plus Mian Tiara menjadikan scoring film terasa melekat sampai menembus kulit (halah!). Beberapa judul music scoring ini bisa didengar melalui Spotify, Apple Music, Joox, dan platform lainnya. Perempuan Tanah Jahanam Theme, Pesan Dari Masa lalu, Harjosari, Darah, Kulit, dan "Kerasa Nggak?" adalah beberapa judul music scoring yang layak didengar sendirian di malam hari, membayangkan perjalanan ke desa Harjosari.
Tidak hanya bagaimana gending Jawa menyayat hati di beberapa adegan, rasa kaget kami saat musik lagu "Joyful, joyful" yang notabene lagu gereja menjadikan kami saling pandang dengan muka terkejut, saat adegan Maya berlari ke luar dari desa Harjosari. Sebuah kejutan manis dari tim PTJ, yang dengan sangat terpaksa aku bongkar di review ini!
Tidak hanya bagaimana gending Jawa menyayat hati di beberapa adegan, rasa kaget kami saat musik lagu "Joyful, joyful" yang notabene lagu gereja menjadikan kami saling pandang dengan muka terkejut, saat adegan Maya berlari ke luar dari desa Harjosari. Sebuah kejutan manis dari tim PTJ, yang dengan sangat terpaksa aku bongkar di review ini!
Khusus di bagian Original Sound Track (OST) PTJ, The Spouse punya lagu Pujaan Hati yang menurut ku sebenarnya liriknya tidak punya kaitan apa-apa dengan film, hanya melalui musiknya, aku sukses di bawa masuk ke dalam dimensi cerita PTJ ini lebih dalam. Entah karena memang jenis musik seperti ini sangat cocok untuk menghipnotis menarik alam bawah sadar ku, atau juga mungkin karena dengan mendengar lagu jenis ini, perasaanku ditarik paksa ke sebuah masa di mana rasa nyaman dan takut bersatu di masa lampau, di masa kecil ku. Jiaaah.. bukan berlebihan lah. tapi sejak jenis musik ini digunakan di Pengabdi Setan kemarin, aku merasa komponen OST ini memang menjadi daya tarik tersediri untuk film jenis ini.
"Oh kasih pujaan hatiku, dengar pinta ku selalu. Jangan pernah lupakan, akan terus bersama sampai akhir... sampai mati..."
Akhir kata, aku harus mengakui bahwa fungsi media sosial, khususnya Twitter sangat berjasa dalam publikasi film Perempuan Tanah Jahanam ini dari mulai rilis pertama hingga detik saat review ini aku tulis sudah menembus angka 1.133.160 penonton. Sungguh interaksi yang dibangun bang Joko Anwar bersama netizen di sana lah yang lebih membesarkan film ini ke permukaan. (MG)
Foto-foto: Twitter Account Joko Anwar
Foto-foto: Twitter Account Joko Anwar
Puas kali bacanya jadi benar-benar merasakan feel dari film karna sudah pernah juga nonton filmnya
ReplyDeleteKeren....
ReplyDeleteFilm "Perempuan Tanah Jahanam" salah satu film horror Indonesia favorit saya
Sangat setuju dengan opini nyaa!! Review terjelas dan terlengkap mengenai film ini🥰
ReplyDeleteWow, film yg menarik. Dengan gaya horor namun di kemas tidak monoton. Menegangkan tapi menarik minat untuk menonton nya. Siapa bilang produk luar aja yg bagus. Ini nih produksi pribumi, tapi kualitas luar negeri.☺️�� Good job.
ReplyDeletePost a Comment