Kenapa Kami Setuju Ikut Acara Hedon di LTFF 3.0

Samosir, Filmmedan. Mengarungi jalan tol sepanjang Amplas - Tebing Tinggi yang dibanggakan sejak selesai dibangun kemarin, melintasi Siantar - Ajibata dan tiba di dermaga tepat pukul 2130 -yang artinya kami ketinggalan kapal terakhir-, nginap di dalam mobil semalaman, hingga akhirnya bisa menyeberang ke Ambarita bersama feri Ihan Batak keesokan harinya, hanya untuk bergabung bersama partisipan lainnya di Pantai Indah Situngkir adalah sebuah perjalanan yang melelahkan!

Ini semua bermula seperti biasanya di bulan-bulan menjelang akhir tahun, teman2 dari Rumah Karya Indonesia (RKI) dengan undangan hajatan rutin sejak 3 tahun terakhir, Lake Toba Film Festival (LTFF). Yang membedakannya dengan tahun ini, tidak hanya undangan hadir sebagai pembicara dalam simposium, kali ini ada juga undangan untuk memproduksi film kolaboratif dengan komunitas2 film lainnya. Kami -Manuprojectpro Indonesia- kebagian post produksi untuk film yang kemudian lahir dengan nama khas Batak, "Bona Parsogit".

Sering kami berbagi prinsip bahwa festival film bagi kami adalah sebuah perayaan film, sebuah kesempatan untuk menjadikan film sebagai alasan untuk berpesta bersama, merasakan kemeriahan beserta pencinta film lainnya. Dan karena kebetulan pesta jenis ini yang rutin tersedia di dekat kami hanya ada ini, lalu apa alasan kami untuk tidak menghadirinya? Apalagi sebagai bagian dari insan sinema di Sumatera Utara ini? Ah, karena kehabisan alasan bagus untuk menolaknya, kami memutuskan untuk wajib ikut!

Simposium film, diskusi panel teknis film, pemutaran film, 1000 tenda, dan tentunya: pesta! Suguhan dengan ciri khas tepian Danau Toba di lepas pantainya adalah menu wajib LTFF. Untuk tahun ini, menunya lebih terlihat sederhana, tapi mengenyangkan. Tidak terkesan berlebihan, nampak bahwa kawan2 RKI makin matang dan dewasa dalam mengeksekusinya. Sungguh rasanya pas! 


Hidangan simposium film Sumut bertajuk, "Menggali Identitas Berbuah Kreatifitas" tersaji sederhana namun mengenyangkan dengan kehadiran insan sinema lainnya seperti dr. Daniel Irawan, Onny Kresnawan, Hendry Noorman, Diana Saragih, Mameng, Robby Saputra, Fajar S. Nugraha, dan banyak lagi untuk berbagi tawa dan sapa sepanjang acara. Puas!


Ah, tentu tidak lengkap apabila pesta tanpa musik dan goyangan, terkesan hedon memang, tapi apa jadinya tanpa itu semua, setelah pasir, danau, dan langit di atasnya? Sempat terbersit di pikiran bahwa apakah justru ini akan merusak identitas "kearifan lokal" yang dipuja-puja setiap bicara film atau karya "daerah" lainnya? Kami merenung, lalu berkesimpulan, LTFF ini milik semua orang. Santuy -bukan santun- adalah kata kunci untuk menikmatinya. Jangan terlalu kaku, ini bukan sajian ritual berbalut budaya yang butuh sakral-sakralan seperti yang dikhawatirkan. Paradoks apabila sebelumnya agak berisik sedikit tentang konsep "Wisata Halal" yang membuahkan festival babi. Intinya sama, ini santuy dengan batas kewajaran. Sepakat, karena toh masyarakat sekitar mulai anak kecil hingga oppung, serta perangkat kabupaten Samosir juga mondar-mandir sepanjang acara kok. Aman!


Malam yang sesekali menggoda lewat guyuran air gerimis, merupakan "puncak acara", ibarat maincourse-nya lah kira-kira! Dengan pemutaran film, penampilan local band, dan seperti biasa, formalitas birokrasi mulai dari Bupati Samosir, Dinas Pariwisata Samosir, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, Kepala Taman Budaya Sumut, serta Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sayang, pemutaran film hasil produksi kolaborasi yang cukup menguras waktu dan tenaga kami sebagai tim post produksinya harus disertai hujan yang semakin tidak bisa diajak kompromi. Jadilah masterpiece yang rencananya diagung-agungkan di hadapan partisipan LTFF 3.0 ini harus dinikmati bersamaan dengan gerimis. (Yang menjadi alasan kami cerewet sedikit dengan menyarankan agar LTFF berikutnya diperhitungkan jangan diadakan di bulan-bulan penghujan).

Hingga kisah ini disajikan, hujan masih belum bisa dikondisikan, seolah menunjukkan bahwa mereka bukanlah sesuatu yang bisa diatur-atur seenaknya oleh manusia (yang dari awal kami yakin, ada pawang hujan yang dipakai panitia untuk mengusirnya!). Tapi, seiring dengan suara film yang terdengar hingga ke dalam tenda tempat kami berteduh, yang membuat kami tak bisa menyaksikan premiere filmnya, kami terbawa suasana sejuk di atas pasir pantai ini. Kembali kami memastikan, bahwa semua ini cukup untuk meyakinkan agar kami mendapuk LTFF 3.0 adalah sebuah hajatan yang sukses, menarik dan wajib kami hadiri! (MG)

Post a Comment

Previous Post Next Post