Sinema merupakan media yang menyajikan gambar figuratif dalam bentuk objek-objek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia. Menurut semiotik, gambar gerak figuratif dapat disebut tanda tingkat pertama, sedangkan tanda tingkat keduanya terdapat pada gerakan gambar itu sendiri. Namun, untuk memahami strategi naratif dalam sinema, diperlukan pemilihan yang cermat mengenai apa yang menjadi prioritas semiotik dalam naratif.
Pluralitas material yang terdapat dalam sinema naratif bersifat heterogen dan mampu memproduksi beragam tanda yang berbeda. Tanda-tanda tersebut terbagi dalam tiga kelas utama, yaitu tanda ikonik, tanda linguistik, dan tanda musikal.
Setelah sinema diperkenalkan sebagai suatu kreasi artistik di Prancis setelah Perang Dunia II, terdapat usaha untuk membangun paramasastra sinema (grammaires du cinéma) untuk memahami sinema seni yang bergantung pada bahasa. Pendekatan ini sangat menekankan pada pembentukan paramasastra normatif. Melalui pendekatan estetika normatif ini, bahasa sinema tidak dioposisikan dengan sistem bahasa, tetapi justru beroposisi dengan sastra. Pendekatan model ini memberikan daftar panjang hal-hal yang harus dihindari dan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak boleh dilakukan agar sutradara tidak terlalu sembrono dalam mencetak efek stilistika khusus.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami sinema sebagai bahasa adalah semiopragmatik, atau semio-linguistik, yang dikembangkan oleh Roger Odin. Pendekatan ini memandang film secara semiologis dengan pendekatan kebahasaan, dan bergantung pada linguistik struktural model Saussure. Pendekatan ini tidak memfokuskan pada penggunaan bahasa dalam sinema, melainkan lebih pada mekanisme bahasa dalam sinema.
Menurut pendekatan ini, hal-hal yang penting dalam sinema harus diuji terlebih dahulu mengenai relevansi semiolinguistiknya. Hal-hal yang tidak memiliki relevansi semiolinguistik, seperti masalah ekonomi, administrasi, teknologi, dan sosiologi publik, akan diabaikan. Semiopragmatik hanya membatasi objeknya pada keseluruhan film, dengan membedakan antara fakta sinematografis dan fakta filmis.
Fakta sinematografis adalah hal-hal yang terkait dengan film secara langsung, seperti sinematografi, musik, dan dialog. Fakta filmis adalah hal-hal yang tidak terkait dengan film secara langsung, seperti tempat, waktu, dan karakter. Pendekatan ini juga mengembangkan konsep sinema sebagai tanda, yang terdiri dari pesan, medium, dan konteks.
Namun, pendekatan ini juga memiliki kelemahan, yaitu hanya memfokuskan pada bagaimana sinema menyampaikan pesan, tanpa memperhatikan bagaimana pesan tersebut diterima oleh penonton. Pendekatan ini juga tidak memperhatikan bagaimana sinema memengaruhi realitas sosial dan kultural, dan bagaimana realitas tersebut mempengaruhi sinema.
Semiopragmatik Odin juga merupakan upaya untuk membangun bahasa sinematografi, dengan menunjukkan mekanisme-mekanisme produksi makna dan memahami film agar dapat dipahami. Pendekatan ini merupakan cabang dari semiologi, yaitu ilmu yang meneliti totalitas tanda. Pendekatan ini memilih untuk membahas semiologi dengan menekankan pada analisis bahasa, karena bahasa merupakan sistem tanda yang terorganisir secara sistematis dan terstruktur.
Pendekatan semiopragmatik Odin juga memperhatikan prinsip-prinsip kode sinema yang terdiri dari pesan, medium, dan konteks. Pesan adalah informasi yang disampaikan melalui film, medium adalah media yang digunakan untuk menyampaikan pesan, sedangkan konteks adalah situasi di mana pesan tersebut disampaikan. Pendekatan ini juga memperhatikan aspek-aspek kode sinema seperti semiotik, komunikatif, dan pragmatik. Semiotik menekankan pada penandaan dan interpretasi tanda, komunikatif menekankan pada interaksi antara pengirim dan penerima pesan, sementara pragmatik menekankan pada penggunaan pesan dalam situasi konkret.
Semiolinguistik struktural merupakan pendekatan yang berasal dari linguistik struktural yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Pendekatan ini berfokus pada menganalisis struktur bahasa dan sistem-sistem yang membentuk bahasa, seperti sistem bunyi (fonem), sistem bentuk dan kata (morfem dan semantem). Semiolinguistik struktural juga memandang bahasa sebagai suatu sistem yang terpisah dari penggunaan bahasa (parole) dan merupakan bagian sosial di luar individu yang tidak dapat diciptakan atau direkayasa oleh individu tersebut. Pendekatan ini menolak pendekatan estetika normatif yang memperlakukan bahasa sebagai suatu kumpulan aturan-aturan yang harus dipatuhi untuk menggunakan bahasa dengan "baik dan benar". Semiolinguistik struktural juga memandang semua produk bahasa sebagai konstruksi yang terbentuk dari sistem-sistem yang saling bergantung dan koheren. Pendekatan ini juga memfokuskan pada menganalisis struktur bahasa di dalam teks film dan bagaimana struktur tersebut memproduksi makna.
Semiolinguistik sinema adalah cabang dari semiologi yang meneliti bahasa sinematografi dengan menganalisis mekanisme-mekanisme produksi makna dan memahami film untuk dapat dipahami oleh penonton. Ini berbeda dengan pendekatan bahasa non-semiologis yang lebih tertarik pada aspek-aspek estetik dan normatif dari sinema, seperti kaidah-kaidah yang harus diikuti dalam mengarang sebuah film atau cara yang "harmonius" untuk menyusun sebuah film. Semiologi memfokuskan pada bagaimana bahasa sinema menandai, memproduksi makna, dan membentuk perangkat untuk mempengaruhi orang lain, sementara pendekatan bahasa non-semiologis lebih tertarik pada bagaimana sebuah film harus terlihat dan terdengar bagi penonton.
Kesimpulan
Semiolinguistik sinema merupakan upaya untuk membangun bahasa sinematografi. Hal ini terkait dengan menunjukkan mekanisme-mekanisme produksi makna dan memahami film agar dapat dipahami. Secara gamblang, semiolinguistik dapat dikatakan sebagai cabang dari semiologi, yaitu ilmu yang meneliti totalitas tanda (Barthes, 1957).
Prinsip-prinsip relevansi kode sinema yang ditawarkan oleh Roger Odin meliputi tidak mencampuradukkan pendekatan sistematik dengan pendekatan estetik (normatif), tidak mencampuradukkan kode dengan sistem tekstual, semua bahasa harus dideskripsikan sebagai kombinasi kode-kode, kode-kode tidak tersedia sebelum analisis, dan konstruksi kode-kode harus diadaptasikan pada relevansi penelitian.
Semiolinguistik struktural merupakan kelanjutan dari reruntuhan kegagalan epistemologi grammaire traditionelle yang diperkenalkan oleh linguistik struktural. Linguistik struktural menolak hegemoni paramasastra dengan membangun pendekatan melalui analisis deskriptif dan eksplikatif terhadap semua produk bahasa. Tata kerja linguistik struktural yang utama adalah membangun sistem yang memberi peluang penjelasan fungsi keseluruhan produk bahasa, yaitu melalui sistem bunyi (fonem), sistem bentuk dan kata (morfem dan semantem).
Teks-teks sebelum terlibatnya semiologi dalam sinema cenderung memiliki pendekatan estetik normatif dan mencoba mempertahankan konsepsi sinema. Contohnya adalah teks-teks yang ditulis oleh sineas sendiri, kritikus film, pembangun teori sinema, atau teks yang berambisi pada didaktik. Paramasastra sinema seperti Grammaire cinématographique karya Robert Bataille (1947) dan Essai de grammaire sinématographique karya André Berthomieu (1946) juga cenderung memiliki konsepsi yang sama dengan paramasastra tradisional.
Pendekatan bahasa non-semiolinguistik tidak mengabaikan definisi-definisi yang terlanjur ada sebelumnya, meski definisi itu berada di luar pendekatan kebahasaan. Contohnya adalah teks-teks yang mengkaji sinema dari segi psikologis, sejarah, sosial, atau estetik. Pendekatan ini serring dikritik karena hanya memperhatikan efektivitas dan keefektifan dari sebuah film tanpa memperhatikan aspek-aspek estetik yang lebih luas. Selain itu, pendekatan ini juga dituduh terlalu meletakkan pengarang sebagai sumber utama dan tidak memperhatikan peran penonton dalam pemahaman terhadap suatu film.
Semiolinguistik sinema merupakan salah satu usaha untuk memahami bahasa yang digunakan dalam sinema. Menurut Roger Odin, penelitian tentang bahasa sinema adalah penelitian kode-kode yang mengintervensi bahasa, dan prinsip-prinsip relevansinya harus dipertimbangkan melalui analisis bahasa dalam terminologi kode-kode. Semiolinguistik struktural sendiri merupakan hasil dari kegagalan epistemologi grammaire traditionelle yang dipromosikan oleh linguistik struktural. Linguistik struktural sendiri menolak hegemoni paramasastra tradisional dengan membangun pendekatan yang menganalisis deskriptif dan eksplikatif terhadap semua produk bahasa.
Sementara itu, pendekatan bahasa non-semiolinguistik merupakan usaha untuk mempertahankan konsepsi sinema yang seringkali bersifat estetik normatif dan hanya memperhatikan aspek-aspek yang efektif dari sebuah film. Kritik terhadap pendekatan ini termasuk meletakkan pengarang sebagai sumber utama dan mengabaikan peran penonton dalam pemahaman terhadap suatu film.
Dari beragam pendekatan yang ada, semiolinguistik sinema terlihat sebagai salah satu yang paling menjanjikan dalam memahami bahasa yang digunakan dalam sinema. Pendekatan ini tidak hanya memperhatikan efektivitas dan keefektifan suatu film, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain seperti mekanisme produksi makna dan peran penonton dalam pemahaman terhadap suatu film. Dengan demikian, semiolinguistik sinema menjadi salah satu pendekatan yang dapat memberikan pandangan yang lebih luas dan menyeluruh dalam memahami bahasa sinema. (Referensi: Muslikh Madiyant (2003), Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual. (MG)
Post a Comment