Adisurya Abdy Mudik ke Medan

Adisurya Abdy di kantor Sinematek (Foto: jurnalruang.com)
Medan, Film Medan - Jika kita bicara film Sara & Fei Stadhuis Schandaal, mungkin banyak yang belum tahu sosok sutradara film terbaru yang sedang tayang ini. Terutama anak-anak muda yang lahir di atas tahun 90-an. Sosok Adisurya Abdy bagi mereka tidak pernah didengar.

Gita Cinta dari SMA tahun 1980 (Foto: free80515)

Tapi bagi penonton yang pernah merasakan kejayaan Bioskop Indonesia tahun 80-an, nama ini mungkin tidak asing lagi. Apalagi yang ingat sosok Galih, sang "Dilan" di masa itu. Ya, Adisurya Abdy adalah asisten sutradara film populer ini. Film yang naik ke layar lebar di tahun 1980 ini.

Bangku Kosong tahun 2006 (Foto: Internet)

Atau mungkin juga penonton masih ingat film Bangku Kosong yang sempat hits di tahun 2006. Film horor sebelum masa "Pengabdi Setan Reborn" ini juga mendulang sukses di masa itu adalah buah karya Adisurya.

Kali ini pria kelahiran Medan 29 Agustus 1956 yang juga kepala Sinematek ini hadir di kota Medan dalam rangka meet and greet film terbarunya setelah hiatus lama dari dunia penyutradaraan, Sara & Fei Stadhuis Schandaal.

Kehadiran Adisurya ini merupakan kejutan besar bagi penonton film nasional di kota Medan. Kesempatan untuk bertemu sang sutradara ini akan dilangsungkan saat nobar film ini di hari ini Jumat (27/7) di Cinema XXI Hermes pukul 17.10 WIB nanti.

Sebelum memimpin Sinematek Indonesia (pusat dokumentasi film satu-satunya di Indonesia, yang juga pernah menjadi lembaga pengarsipan film pertama di Asia Tenggara saat berdiri pada 20 Oktober 1975), jalan hidup Adisurya tak lepas dari film.

Pamannya, Abubakar Abdy, dan juga ayahnya, Abdurachman Abdy, yang berdarah Aceh adalah pemilik Rentjong Film Corporation atau Refic. Inilah perusahaan produksi film yang bermarkas di Medan, Sumatera Utara pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an. Adisurya masih ingat sewaktu balita kerap digendong Siti Aminah, ibunya yang berdarah Jawa, di lokasi syuting.

"Saya kadang-kadang ikut sama orang tua saya ke kantor. Sampai-sampai saya pernah terkunci di gudang peralatan. Pintunya ditutup pegawai kantor, dan mereka enggak tahu kalau saya sedang asyik main di dalam," kenangnya.

Namun, peristiwa pada 30 September 1965 menjatuhkan Rentjong Film Corporation ke titik nadirnya. Perusahaan tersebut kemudian bubar karena, kata Adisurya, film-film yang diproduseri pamannya dibuat oleh seniman-seniman anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satunya adalah Bachtiar Siagian.

Buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 (2007) yang disusun JB Kristanto menyebutkan, Rentjong Film Corporation ikut memproduksi “Melati Sendja” (1956), “Turang” (1957), dan “Badja Membara” (1961). Tiga film tersebut disutradarai dan ditulis skenarionya oleh Bachtiar. Buku itu juga bilang, kolaborasi Abubakar dan Bachtiar sebagai produser dan sutradara juga terjadi pada dua film lainnya, yaitu “Sekedjap Mata” (1959) dan “Piso Surit” (1960).

Bachtiar Siagian sendiri menjadi direktur Lembaga Film Indonesia, yang merupakan bagian Lekra, sejak 1958 hingga 1966. Ia juga amat aktif menentang strategi perfilman dari kelompok Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail—yang kini kita kenal sebagai Bapak Film Nasional.

Di era 1950-an hingga meletusnya peristiwa 30 September 1965, konflik ideologis memang sedang panas-panasnya. Mengutip buku Sinema pada Masa Soekarno (2016) karangan Tanete Pong Masak, film-film karya Bachtiar kemudian kerap jadi sasaran sensor dan kritik yang keras. Contohnya film “Daerah Hilang” (1956), yang juga diproduksi Rentjong Film Corporation, pernah ditolak dua kali oleh lembaga sensor. Beberapa kalangan bahkan menilai film tersebut bagian dari propaganda komunis dan bertujuan untuk mengobarkan konflik antar kelas sosial.

Penyimpanan film di Sinematek Indonesia (Foto: Adhytia Putra, jurnalruang.com)

Naiknya Soeharto dan Orde Baru ke tampuk kekuasaan pasca 1965 membuat sejarah ditulis ulang. Kesenian kena imbasnya. Film-film karya para seniman Lekra maupun yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI lalu dilenyapkan dari catatan sejarah, tak terkecuali film-film Bachtiar Siagian.

"Semua filmnya sudah dimusnahkan. Sudah di-trace enggak ada yang ketemu. Padahal, film adalah arsip, dan film-film itu adalah karya dalam satu situasi, tapi kalau sudah dimusnahkan, itu semua jadi tinggal cerita. Sayang banget. Kita rugi karena kehilangan sejarah. Harus kita akui bahwa film karya anak bangsa adalah cerminan wajah kita pada periodenya, dan dengan melestarikan karya film, kita menjaga peradaban. Itu yang paling utama," ungkap Adisurya.

Maka, tak heran jika Adisurya terus berupaya agar film-film Indonesia terarsipkan dengan baik di Sinematek sejak memimpin lembaga tersebut pada 2013 hingga dua tahun mendatang. Ia melanjutkan pekerjaan Kepala Sinematek Indonesia sebelumnya, seperti almarhum Misbach Yusa Biran yang juga pendiri Sinematek, S.M. Ardan, Adi Pranajaya, dan Berthy Ibrahim Lindia.

Selain untuk promo film terbarunya ini, Adisurya juga mempertimbangkan untuk mengadakan nobar film Gita Cinta Dari SMA di kota Medan yang saat ini menjadi koleksinya di Sinematek Indonesia. Tentu, sebuah kesempatan berharga yang jangan sampai terlewatkan begitu saja untuk memajukan semangat perfilman di kota kelahiran beliau ini. (MG)

sumber: 
https://jurnalruang.com/read/1500362593-adisurya-abdy-tak-ingin-kehilangan-sejarah

Post a Comment

Previous Post Next Post