Sejarah Tak Pernah Telanjang


Yogyakarta, Film Medan - Retno Ratih Damayanti adalah sosok perempuan yang telah banyak berkecimpung dalam kancah perfilman di Indonesia sebagai seorang make-up artis dan desainer kostum. Retno cukup sering mengerjakan film skala besar yang berlatar masa lalu, misalnya Soekarno, Sang Pencerah, hingga Guru Bangsa: Tjokroaminoto.

Kali ini Retno menggelar pamerannya yang perdana bertajuk "Sejarah Tak Pernah Telanjang" yang dibuka pada hari Selasa (10/7) malam di Sangkring Art Project, Kasihan Bantul, Yogyakarta.

Pameran ini adalah pameran koleksi kostum dari berbagai film yang pernah ia tangani, diantaranya film Guru Bangsa: Tjokroaminoto (Garin Nugraha, 2015), Nyai (Garin Nugraha, 2017), Kartini (Hanung Bramantyo, 2017), dan Sultan Agung (Hanung Bramantyo, 2018). Busana yang dipamerkan sangat tematik misal di film Sarekat Islam, kostum yang didesain tersebut diperhatikan sesuai dengan era Sarekat Islam.

Melalui pameran ini, Retno menampilkan bahwa busana ataupun kostum memiliki peranan penting bagi tokoh yang diperankan di dalam film. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat merancang busana-busana ini harus diperhatikan agar sesuai dengan jaman aslinya dimana orang sangat memperhatikan cara berpakaian mereka, misal adanya larangan cara berpakaian di masa tersebut.

Perempuan 46 tahun ini juga mencoba mendeskripsikan bahwa pakaian dan busana merupakan penanda hierarki sosial baik dilihat dari genre, etnis bahkan bisa dilihat dari sudut pandang politik dan religius. Dalam pameran ini kita bisa mengenal sejarah Indonesia lewat evolusi kostum tokoh dan rakyat yang ada,  misal pengaruh kostum yang mendasari sangat kuat berasal dari Cina, Eropa, India dan Turki.

Mengenai perkembangan busana sendiri, Retno mengungkapkan “pada jaman dulu pernah mengalami masa high fashion,  namun kini mulai ditinggalkan karena masalah kepraktisan,” tuturnya.

“Dulu belum ada teknologi yang maju, orang membuat kostum tidak terlalu rumit,” jelasnya lebih lanjut. Namun sebenarnya , kostum di era itu sangat rumit, sebagai contoh bisa dilihat di busana Ratu Batang yang terbuat dari sutra, cutting modelnya sangat luar biasa, sangat tidak sederhana, mengandung kerumitan.

Semua koleksi pameran diambil dari studionya yang ada di Jakarta, kostum-kostum tersebut ditata sesuai dengan eranya. Kita bisa menyambangi pameran ini hingga 24 Juli 2018. 

Retno Ratih Damayanti: Menghidupkan Karakter dengan Kostum


Tiga piala Citra sudah dipeluk Retno Ratih Damayanti. Tiga tahun berturut-turut—2013, 2014, dan 2015—ia meraih Penata Busana Terbaik lewat film Habibie & Ainun, Soekarno, dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto.

Jika Anda terpesona pada kostum yang dikenakan Dian Sastrowardoyo dan para pemain lain dalam film Kartini, Retno pula yang menatanya. Risetnya begitu mendalam, karena ia ingin menghidupkan kembali suasana abad ke-19 dan awal abad ke-20 secara autentik, seperti yang digambarkan film itu.

Bicara soal menata kostum, wanita kelahiran tahun 1972 ini sudah memulai sejak lama. Sejak SMA, wanita asal Yogyakarta ini aktif sebagai anggota teater. Karena tak suka menjadi pemain, ia menawarkan diri menangani kostum. “Saya senang dunia panggung. Saya senang film. Tapi habis itu saya mikir, apa yang bisa saya lakukan di dunia itu, ya? Akhirnya saya memilih kostum dan makeup,” cerita Retno, lulusan Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada.


Belajar membuat kostum dan merias karakter ia dalami secara otodidak. Begitu kuliah di UGM, aktivitasnya di teater terus belanjut. Ia bergabung dengan Teater Garasi, teater jurusan Fisipol UGM. Sebelum hijrah ke Jakarta, Retno juga sempat menjadi dosen Tata Rias dan Busana di Institut Seni Indonesia, Yogya, selama enam tahun.

Dari dunia teater, Retno berkenalan dengan Garin Nugroho dan Hanung Bramantyo. Film pertama yang ia tangani adalah Opera Jawa arahan Garin Nugroho. Garin kerap menonton pertunjukan Teater Garasi, sedangkan Hanung sama-sama anak teater seperti dirinya. Setelah lulus, Retno diajak Hanung menangani proyek film di Jakarta. 

Sejak itu, hampir semua film Hanung ia tangani kostumnya, seperti Ayat-Ayat Cinta, Get Married, Surga yang Tak Dirindukan 2, dan Kartini. Hingga saat ini sudah ada 50 film lebih yang pernah ia tangani.

Retno menyadari kekuatan dan kelemahannya. Ia bukan seorang fashion designer. Ia tak bisa mendesain dan menjahit. Untuk itu, ia punya rekan kerja lulusan sekolah mode. Retno mengandalkan kekuatannya dalam meriset secara detail. 

Berbagai foto dari buku, internet, juga informasi dari museum dikumpulkan untuk referensi. Setelah referensi itu ada, ia menunjukkannya kepada tim untuk mendiskusikan model, warna, dan bahan yang sesuai. “Saya punya banyak sekali data foto tentang busana Indonesia. Dari tahun 1800 sampai 1900 sekian saya punya.”

Ada kostum yang harus dibuat sendiri, ada pula yang bisa dibeli atau dipinjam. Kebanyakan film sejarah harus membuat kostum sendiri karena bajunya sulit dicari, misalnya film Soekarno. Pada adegan Soekarno berpidato, ada dua ribu figuran yang ia jahitkan baju. “Saya bawa baju untuk (syuting) Soekarno itu sampai empat truk. Saya bikin kemeja sekitar lima ribu potong. Saya sebar ke beberapa penjahit,” kisah Retno.

Pernah juga ia dipinjamkan jaket milik B.J. Habibie dan istrinya, Hasri Ainun Habibie, untuk film Habibie & Ainun. Kedua jaket itu dipakai Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari di adegan terakhir. Ketika ia kesulitan mencari jeans ice wash ala tahun 80-an, ia mencari baju bekas di Pasar Senen, Jakarta, untuk dipakai para pemain Tiga Srikandi.

Retno masih punya banyak impian. Ia ingin memiliki perusahaan yang menaungi para penata kostum agar ia bisa membimbing, juga menyalurkan pekerjaan di berbagai film dan sinetron. Retno juga ingin memiliki studio kostum dengan penataan yang rapi. Dari pengetahuannya selama ini, Retno juga ingin membuat buku tentang kostum film.

Setelah meraih tiga Piala Citra, Retno merasa sudah saatnya penghargaan ini diberikan untuk orang lain. “Saya ingin yang lainnya merasakan kesenangan dan kebahagiaan yang saya rasakan.”

Retno juga masuk sebagai nominasi Piala Citra tahun 2017 untuk Penata Busana Terbaik melalui film Kartini di mana pemenangnya adalah Gemailla Gea Geriantiana untuk film Night Bus. (MG)

Sumber:
  1. https://gudeg.net/read/10906/sejarah-tak-pernah-telanjang-karya-retno-ratih-damayanti.html
  2. http://www.pesona.co.id/read/retno-ratih-damayanti-menghidupkan-karakter-dengan-kostum

Post a Comment

Previous Post Next Post