Selamat Jalan Tino Saroenggalo


Jakarta, Film Medan - Sebuah kabar duka tiba di meja redaksi Filmmedan.com pagi ini, hari Jumat (27/7) pukul 09.10 telah berpulang filmmaker, produser, serta aktor yang sangat dicintai seluruh sineas film di Indonesia, Tino Saroenggalo. Setelah berjuang melawan penyakit yang dideritanya yaitu kanker kandung kemih, Tino akhirnya menghadap Sang Khalik pagi tadi. Saat ini almarhum disemayamkan di rumah duka: Komplek Bintaro Paradis No. 6, Jl. Bintaro Puspita Raya, Pesanggrahan.

Tino Saroengallo dan Yesika Sidabutar (Foto: Yesika Sidabutar)

Sosok Tino merupakan sosok yang sangat berkesan bagi beberapa sineas kota Medan, salah satunya Yesika Sidabutar, penulis skenario dari Yayasan Sinema Manuprojectpro Indonesia yang sempat bertemu dan mendengarkan wejangan beliau saat mengikuti workshop Management Produksi yang diselenggarakan Pusbang Film Kemdikbud RI tahun lalu di Depok.

Menurutnya Oom Tino, begitu biasa Tino dipanggil adalah sosok yang mengagumkan, sangat baik, ramah, dan menebarkan kehangatan bagi sekelilingnya dengan candanya yang khas.

Rasa kehilangan juga datang dari seluruh crew Yayasan Sinema Manuprojectpro Indonesia yang pernah maupun belum sempat bertemu langsung dengan beliau, tetapi mengenal sosok beliau melalui bukunya Dongeng Sebuah Produksi Film yang selama ini menjadi referensi terbaik untuk memperkenalkan fungsi seorang manajer produksi film bagi mereka di kota Medan selama ini.


Sempat Didoakan dan Bercanda Bersama

Bunda Nanda Giri (paling kiri) bersama beberapa tokoh perfilman Indonesia saat acara doa bersama di kediaman Tino Saroengallo (Foto: Nanda Giri)

Sebelumnya melalui linimasa Nanda Giri, sineas yang dikenal dengan panggilan "bunda" pada Selasa (17/7), sempat diadakan acara pengajian bersama beberapa tokoh perfilman Indonesia mendoakan Tino Saroengallo.

Setelah acara pengajian selesai, masih sempat diadakan acara kumpul bersama, foto bareng, bercanda, menangis bersama. Mendengarkan wejangan dari Tino. Walau dalam keadaan lemah, Tino masih semangat dalam berbicara, mengingat satu per satu sosok di sekitarnya.

Tino Saroengallo (tengah) diapit sahabat-sahabat perfilman Indonesia saat acara doa bersama (Foto: Nanda Giri)

"Nanda kamu casting itu kerjaan tidak mudah, harus di kerjakan dengan baik", Tino untuk bunda Nanda pada saat itu. 

Tino sempat juga bercanda saat ia melihat seorang laki-laki duduk di pojokm dengan gaya khasnya, ia menyeletuk, "Kamu siapa botak?" dan seisi ruangan itu semua tertawa, tetap dengan caranya menyapa orang.

Setelah canda dan ngobrol bareng tiba-tiba Tino berkata, "Sekarang mau merokok", dan semua menyahut, "Yukkk yukkk di temanin merokok!" disertai senyum dan tawa mengingat betapa Tino sangat merindukan bau asap rokok. Setelah satu hisapan rokok, Tino pamit minta masuk dan mau istirahat. 

Saat berita ini dinaikkan, linimasa sineas Indonesia dipenuhi dengan ucapan bela sungkawa di hampir semua media sosial.

Beberapa diantaranya: 


Ronny P. Tjandra (Aktor, Produser, dan Importir Film)




Sangat berduka karena telah berpulang seorang sahabat, Tino Saroengallo (10/7/1958 - 27/7/2018). 😢😢


Aktor (13 flm), produser (6), sutradara (4), manager produksi, penulis. Karya kenangannya dokudrama pidato Bung Karno: “Pantja-Sila, Cita-cita & Realita”, bersama Tyo Pakusadewo. 
Sebuah kehilangan besar bagi dunia film Indonesia. 😔

Semoga segala kebaikannya menjadi doa yang diterima. 🙏🙏🙏
Rest In Peace, Brother!!💐💐💐💐

Dalam kenangan: 

Beliau adalah seorang yang selalu bicara lugas, tanpa tedeng aling-aling, memiliki selera humor tinggi dan pengetahuannya sangat mumpuni. Sungguh seorang master! 🙏

Barly Juan Fibriady (Sinematografer)


Bang... 
Selamat jalan 
Selamat berjalan di kehidupan yang lain tanpa rasa sakit, marah, benci atau apapun

Bang... 
Terima kasih atas semua ilmu yang kau berikan...

Selamat jalan bang Tino Saroengallo
🙏🙏🙏🙏🙏

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un...
Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa'afihi Wa'fu'anhu...

Vivian Idris (Aktris, Produser)



Selamat menyatu dengan keabadian sahabat dan mentorku Tino Saroengallo. Doa dan kenangan mengiringi kepergianmu


Tentang Tino Saroenggalo

Tino Saroengallo (rambut plontos), saat menjadi Asisten Sutradara dalam film The Philosopher (Foto: http://kinescopemagz.com)

Tino Saroengallo, lahir di Jakarta, 10 Juli 1958. Ia adalah aktor, produser film dan penulis. Pada 1986 ia menamatkan pendidikan di Fakultas Sastra Jurusan Asia Timur Program Studi Cina, Universitas Indonesia. Alasan ia memilih kuliah Sastra Cina karena dari kecil suka baca cerita silat Kho Ping Hoo. Di dalam otaknya, populasi penduduk Cina yang terbesar di dunia. Maka bahasa Cina akan menjadi bahasa pergaulan di dunia.

“Saya ambil Sastra Cina karena saya nggak tau hidup mau ngapain. Begitu tamat IPA, tamat, saya bingung. Saya lihat ibu saya jadi dokter umum itu nggak menarik dan jadi dokter itu bukan buat saya. Saya lihat bapak saya jadi pengacara hidupnya juga nggak menarik. Saya sering baca Kho Ping Hoo, saya pikir, oh ya kayaknya Sastra Cina ini seru. Dasarnya saya juga senang main. Jadi saya pikir, oh iya, ini nih.. kenapa nggak sastra cina? Cina kan banyak di dunia. Di otak saya pertama itu. Begitu saya bisa ngomong cina kan saya bisa gaul. Intinya saya ikutin arus saya seperti air aja.”

Menyelesaikan skripsinya setelah mencicipi profesi door to door salesman di sebuah perusahaan selama enam bulan. Kehidupan salesman inilah yang menjadi bekal utamanya ketika mengawali karier di bidang jurnalistik: tidak malu menyapa calon responden seperti halnya menyapa calon pembeli.

“Jadi salesman, door to door karena saya butuh duit. Saya memang belum lepas dari orang tua tapi orang tua saya juga bukan orang kaya. Sebagai contoh, saya tidak pernah di wisuda selama hidup saya. Kenapa? Karena ketika mau di wisuda, duit saya tinggal Rp 25.000,- Pilihannya antara memperbanyak naskah skripsi untuk sidang, kemudian saya dapet ijazah atau saya ikut wisuda, dapet toga. Saya pilih buat skripsi. Simpel aja itu sih. Yang penting saya nggak ada hutang.

Sejak 1987 ia sudah berkecimpung di beragam profesi yang berkaitan dengan media. Mulai dari reporter di tabloid dwi-mingguan “Mutiara”, majalah berita dwi-mingguan “X’tra”, majalah berita bergambar “Jakarta-Jakarta”, serta penulis lepas di berbagai media hingga akhirnya masuk ke dunia audio-visual pada saat stasiun televisi swasta RCTI berdiri tahun 1988 dengan catatan tidak pernah menjadi karyawan stasiun televisi tersebut. Sejak saat itu akrab bekerja dengan pembuatan program televisi sebagai Manajer Produksi maupun sebagai Penulis untuk program maupun drama televisi. Dari program televisi merambah ke produksi film iklan dan film cerita. Meski pernah menjadi Sutradara film iklan selama beberapa tahun di paruh kedua dekade 1990-an namun pada awal tahun 2000-an ia memutuskan untuk lebih menekuni profesi Asisten Sutradara 1 dan Manajer Produksi.

“Kecemplung di dunia industri film dan televisi karena nggak sengaja. Saya masuk RCTI diajak seorang teman. Awalnya pegang buat news dan program feature. Programnya dianggap gagal, terus saya balik lagi nulis dan bikin sinetron.. karena sinetron tantangannya cuma di episode awal, lima episode pertama enak makin kesananya ya gitu-gitu aja, saya bosen. Terus diajak lagi untuk program musik namanya Rocket. Ya, ikut lagi sampe dua tahun, bosen, masuk ke iklan, jadi orang lokasi, terus masuk lagi ke feature film.”

Di dunia film cerita ia lebih banyak berkecimpung di departemen produksi menjadi Manajer Produksi, Manajer Lokasi atau malah Pemain. Film cerita yang pernah ia kerjakan sebagai bagian dari departemen produksi  adalah “Victory” (Mark Peploe, 1995), “Last to Surrender” (David Mitchell, 1999), “Pasir Berbisik” (Nan T. Achnas, 2001), “Ca-bau-kan” (Nia diNata, 2002), “The Fall” (Tarsem Singh, 2006), “Jermal” (Ravi L. Bharwani, Rayya Makarim, Orlow Seunke, 2008), “Eat Pray Love” (Ryan Murphy, 2010), “Sang Penari” (Ifa Ifansyah, 2011) dan “The Philosophers” (John Huddles, 2013).

Sebagai pemain film ia pernah tampil sebagai figuran, cameo ataupun peran pendukung dalam film “Petualangan Sherina” (Riri Riza, 2000), “Arisan” (Nia diNata, 2003), “Pesan Dari Surga” (Sekar Ayu Asmara, 2006), “Dunia Mereka” (Lasya Fauzia, 2006), “Quickie Express” (Dimas Djayadiningrat, 2007), “Tri Mas Getir” (Rako Prijanto, 2008), “MBA” (Winalda, 2008), “Jagad X-Code” (Herwin Novianto, 2009), “Pintu Terlarang” (Joko Anwar, 2009), “Kabayan Jadi Miliuner” (Guntur Soeharjanto, 2010) dan terakhir “Rayya: Cahaya Di Atas Cahaya” (Viva Westi, 2012). Ia selalu menyebut diri sebagai spesialis peran sekelebat.

Di dunia film dokumenter ia pernah memproduksi sebuah film dokumenter sejarah politik Indonesia berjudul “Student Movement in Indonesia: They Forced Them To Be Violent” yang mendapatkan penghargaan sebagai Film Pendek Terbaik dalam Asia Pacific Film Festival ke-47 di Seoul pada bulan Oktober 2002 dan Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Terbaik dalam Festival Film Indonesia di Jakarta pada tahun 2004. Salah satu dampak dari kemenangan ini adalah ia seringkali diundang menjadi juri festival film dokumenter seperti Festival Film Indonesia ataupun Eagle Awards Documentary Competition di Metro TV.

Film dokumenter berikutnya tentang upacara pemakaman di Tana Toraja berjudul “Hidup Untuk Mati” (They Live to Die). Hasil kerjasama dengan sutradara/produser senior Gary Hayes, guru sekaligus rekan kerjanya sejak tahun 1993 sampai sekarang. Belum lama ini ia baru saja merilis film dokumenter terbarunya berjudul Setelah 15 Tahun, yang mengulas tentang perjalanan reformasi di tahun 1998 hingga tahun 2013 berikut wawancara beberapa aktivis 1998 yang kini mewakili suara profesinya masing-masing.

Ia juga banyak terlibat dalam pembuatan film dokumenter televisi tentang Indonesia maupun peliputan berita stasiun televisi ARD-TV Jerman di Indonesia. Bila jadwal memungkinkan, sampai sekarang ia masih mendampingi peliputan ARD-TV di Indonesia sebagai fixer.

“Ikut TV Jerman itu ketika sedang kumpul bareng teman-teman, ketemu mereka (kru ARD-TV). Waktu itu saya sudah tidak di RCTI, sudah freelance. Saya sudah jadi sutradara iklan waktu itu. Kemudian mulai krisis. Menganggur. Nah, saya main di news. Pas ada gerombolan TV Jerman. Diajak. Ya ikutan aja. Urat wartawan saya pun balik. Keterusan sama mereka, tiga tahun keliling Indonesia.”

Selain tulisan reportasenya yang pernah dimuat di berbagai media antara tahun 1986 – 1994, ia juga sudah menghasilkan dua buah buku yaitu “Ayah Anak Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat” (Penerbit Tembi, 2008) dan “Dongeng Sebuah Produksi Film” (Penerbit Intisari, 2008). Keduanya sudah diterbitkan ulang. Buku “Dongeng Produksi Film Iklan (Asing) di Indonesia” ini adalah buku ketiganya, buku pertama dari trilogi “Dongeng Produksi Film (Asing) di Indonesia.

Pada tahun 2000 ia mendapat kesempatan mengajar sebagai dosen produksi film di Fakultas Film & Televisi, IKJ. Hasil dari tulisan-tulisan diktatnya untuk para mahasiswa ia jadikan buku berjudul Dongeng Sebuah Produksi Film: Dari Sudut Pandang Manajer Produksi (2008 & 2011).

“Saya mengajar di Fakultas Film dan Televisi, IKJ karena dijeblosin sama Mira Lesmana dan Shanty Harmayn. Mestinya mereka yang mengajar. Karena berhalangan, mereka meminta saya. Akhirnya saya yang keterusan mengajar, merekanya tetap sibuk shooting. Tahun 2008-2009 saya berhenti karena mulai sering ke luar kota. Nggak fair buat mahasiswanya. Sekarang paling kalau ngajar ya sifatnya berbagi.”

“Saya memang beruntung, tahun 1994 saya sudah dijeblosin untuk berurusan dengan film-film Hollywood. Orang-orang dari Hollywood, sutradara iklan, sutradara film cerita datang ke Indonesia. Kebetulan pada waktu itu hanya sedikit yang bisa berbahasa Inggris. Saya bisa berbahasa Inggris, bisa ngomong sama bule, saya terpilih untuk bekerja dengan mereka. Ya lama-lama saya belajar sistemnya mereka. Tahun 1994 pun saya sudah berurusan dengan timnya Bernado Bertolucci (Sutradara Film asal Italia yang menyutradarai film antara lain Last Tango in Paris, 1900, The Last Emperor, The Sheltering Sky dan The Dreamers). Pokoknya semua saya jalanin aja, yang penting niat belajar. Gitu aja.” 

Filmography

  • Victory(1995)
  • Last To Surrender(1999)
  • Petualangan Sherina(2000)
  • Pasir Berbisik(2001)
  • Ca-bau-kan(2002)
  • Student Movement in Indonesia: they forced them to be violent(2002)
  • Arisan” (2003)
  • Pesan Dari Surga(2006)
  • The Fall(2006)
  • Dunia Mereka(2006)
  • Quickie Express(2007)
  • Jermal(2008)
  • Tri Mas Getir(2008)
  • Married By Accident(2008)
  • Jagad X-Code(2009)
  • Pintu Terlarang(2009)
  • Eat, Pray, Love(2010)
  • Kabayan Jadi Milyuner(2010)
  • Sang Penari(2011)
  • They Live to Die(2011)
  • Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya(2012)
  • The Philosophers(2013)
  • Setelah 15 Tahun…(2013)


Buku

  • Dongeng Sebuah Produksi Film: Dari Sudut Pandang Manajer Produksi(2008 & 2011)
  • Ayah Anak, Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat(2008 & 2010)


Penghargaan

  • Best Short Film, Asia Pacific Film Festival ke-47, Seoul, 2002(2002)
  • Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Terbaik FFI, 2004(2004)

Sumber:
http://kinescopemagz.com/tino-saroengallo-usaha-keras-menentukan-masa-depan/

Post a Comment

Previous Post Next Post