Untuk film sekelas ini, menghabiskan biaya produksi besar
melalui sentuhan tangan Mike Wiluan yang sebelumnya juga pernah menggarap
Headshot, kita seharusnya mendapatkan hasil ekspektasi yang lebih dari ini.
Masalah yang paling utama dari film mahal ini adalah plot holes di beberapa
bagian penting.
Entah mengapa, dalam beberapa adegan terlihat banyak hal-hal
janggal yang sepertinya terjadi akibat fokus terhadap aksi memukau yang hendak
ditampilkan.
Beberapa hal mulai dari logika jarak kota dengan desa yang
tidak konsisten, kejadian yang hampir saling bertolak belakang dengan fakta
dalam adegan sebelum dan sesudahnya, hingga ketidakakuratan dampak aksi
berlangsung dalam film ini.
Penokohannya Sangat Tipis..
Suwo yang diperankan oleh Yoshi Sudarso adalah si bungsu
yang mengaku sering diremehkan oleh abang dan pamannya. Sedangkan abangnya,
Jamar, yang diperankan oleh Ario Bayu adalah seorang yang tidak suka sama
kalajengking. That’s it. Kevulnerablean mereka segitu doang, kita diharuskan
peduli sama mereka berdasarkan dua hal tersebut. Dan oh iya, Si Suwo ini
kerjaannya ngelaba ama cewek, dia naksir sama tokohnya si Pevita Pearce. At the
sight of her, Suwo akan membuka penyamarannya dan melupakan dirinya masih
berada di kota yang penuh Belanda. Menakjubkannya tokoh Suwo ini adalah, satu
plot poin cerita ini bergulir dari dia yang disuruh beli obat, namun malah
‘pacaran’ ama Pevita, alhasil mereka kegrebek antek Belanda.
Bangunan karakter yang lemah
Buffalo Boys dihadirkan nyaris tanpa kehadiran konflik yang
berarti. Kebanyakan konflik tersebut hanya tampil untuk memicu adegan-adegan
aksi dalam film untuk kemudian menguap dan menghilang begitu saja dari dalam
pengisahan. Dan mungkin rasanya lebih baik untuk tidak membicarakan kualitas
penulisan deretan dialog dalam naskah cerita film ini yang terasa kaku bagaikan
terjemahan literal dari sebuah naskah cerita yang awalnya ditulis dalam Bahasa
Inggris. Tidak mengherankan jika film ini terasa begitu membosankan dan tampil
tanpa denyut emosional yang berarti.
Ketidakhadiran kuda dari awal yang tiba-tiba muncul di akhir
film, malah menambah geli tersendiri, mengingat kecepatan super kerbau yang
"sakti" di adegan aksi pamungkas film ini harus mengakhiri film yang
selama berjalannya selalu membuat penonton merasa tanggung mengikuti alur yang
dibawakan sang sutradara.
Melangkah ke kursi sutradara Hitman: Agen 47 (2015) dan
Beyond Skyline (2017), Wiluan meminjam dari John Ford, Sergio Leone, dan The
Magnificent Seven (1960) dengan percaya diri. Selain menjaga konsisten
penceritaan , ia membumbui adegan aksi yang diantisipasi seperti perkelahian dan
bentrokan jalan utama klimaks dengan gerakan seni bela diri yang dikoreografi
dengan baik dan berbagai senjata khas. Namun dalam film ini adalah film yang
sering kali lebih dirakit daripada yang diarahkan, sangat kurang memiliki semangat
Meskipun visinya sangat diromantiskan, dengan sinematografi
John Radel yang sebagian besar mendukung pemandangan indah atas revisionisme
yang berpasir, momen yang tak terlupakan di Buffalo Boys berasal dari bagaimana
ia berdiam pada kekejaman yang ditimbulkan oleh Belanda selama kependudukan.
Dalam hal ini, dapat dilihat sebagai sepupu Quentin Tarantino's Django
Unchained (2012) dengan Bussemaker memberikan perubahan yang mencolok sebagai
Van Trach yang sangat tercela yang bagi mereka hukuman sadis hanya menjadi
tugas sehari-hari. Van Trach tampaknya telah ditulis dalam mode satu dimensi,
tetapi pengiriman Bussemaker yang anehnya tanpa ekspresi dan ekspresi mengkilap
menambah lapisan keletihan yang membuat tokoh jahatnya menjadi tokoh kebencian
yang menarik. Adegan di mana ia mengambil panggung utama, terutama gantung yang
menggabungkan spaghetti atmosfer barat yang meningkat dengan sandiwara Grand
Guignol, memiliki kualitas menyeramkan yang menghilang begitu fokus kembali ke
para pahlawan.
Film ini juga melewatkan kesempatan untuk menunjukkan
bagaimana para pahlawannya telah terlepas dari budaya mereka setelah datang nya
budaya orang Amerika Serikat. Jadi, alih-alih membara di perbatasan baru,
Buffalo Boys berhasil melalui wilayah 'kelahiran legenda' yang lumayan dengan
hasil yang cukup menghibur.
Kadang-kadang "Buffalo Boys" mengisyaratkan niat
yang lebih mistis yang mungkin meminjamkan resonansi berlapis tertentu. Tapi
Wiluan melindungi taruhannya, memainkan skrip yang berantakan tetapi tidak
canggih yang dia tulis dalam istilah-istilah literal. Hasilnya adalah film
yang, sambil menghibur, juga menampilkan sedikit lebih banyak gaya berpakaian
daripada yang diperlukan. Secara keseluruhan, bagian barat Timur ini adalah
koktail bergenre riang, tetapi akan lebih menarik untuk melihat apakah
pengarahnya dapat membawa nuansa yang lebih besar ke apa pun yang menjadi
proyek berikutnya.
Artistik terbaik
Disamping sekuens dan laga musik , Untuk penghargaan dengan
tata artistik, Buffalo Boys berhasil memukau penonton dan meningkatkan kelas Buffalo
boys. Dari mulai pemilihan warna, properti, wardrobe yang menyuarakan era
kolonial serta efek yang di rias untuk beberapa artis yang di make over. Sehingga
desain produksinya benar benar mengagumkan. Kesan mahal yang diciptakan lewat
materi promosinya bukan hanya tipu belaka. Menyaksikan di layar lebar tidaklah
disesali karena terlepas dari kelemahannya Buffalo Boys tetaplah sebuah produk
yang layak di apresasi oleh penikmat film.
Tidak berlebihan kalau film ini akhirnya dianggap sebagai
penampilan luar biasa yang membungkus cerita lemah, jauh dari harapan penonton
yang sejak dirilisnya trailer film ini, mengharapkan The Magnificent Seven atau
Seven Samurai ala Indonesia..
Post a Comment